Bismillah
Suatu ketika, Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai
arti takwa. Ubay menjawab, “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar
berkata, “Pernah.” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar
menjawab, “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata, “Maka demikian pulalah taqwa.”
Di hari yang lain, seorang sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib
tentang apa itu taqwa. Beliau menjelaskan bahwa taqwa adalah pertama
takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya
neraka. Kedua, beramal dengan Al-Quran yaitu dengan menjadikan Al-Quran
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, ridho dengan yang
sedikit (ini berkaitan dengan rezeki). Bila mendapat rezeki yang banyak,
siapa pun akan ridho. Tapi, bagaimana bila sedikit? Yang perlu disadari
adalah bahwa rezeki tidak semata-mata berwujud uang atau materi.
Keempat, orang yg menyiapkan diri untuk “perjalanan panjang”, maksudnya
adalah hidup sesudah mati.
Dalam bahasa yang sederhana, taqwa
diartikan sebagai melaksanakan yang diperintahkan-Nya dan menjauhi
segala yang dilarang-Nya. Meski sederhana, definisi tersebut sungguh
mengandung pengertian yang dalam dan luas. Namun, yang jelas perilaku
taqwa terbentuk dari dua elemen utama, yaitu muroqobah (kontrol diri)
dan dzikir (ingat kepada Allah) yang akhirnya akan membuahkan sifat
keterjagaan dan kekuatan bashirah (cahaya batin).
Berkaitan dengan
menghidupkan keterjagaan dan kekuatan bashirah ini, Allah Swt. kemudian
mempertajam definisi taqwa sebagai usaha untuk menjauhkan diri dari
perbuatan dan perkataan yang tiada berguna atau sia-sia (Q.S.
Al-Mu’minuun [23]: 3).
Ya, kehati-hatian yang dimaksud oleh Ubay bin
Kaab dapat diartikan sebagai menjaga diri dari melakukan perbuatan
sia-sia yang bukan hanya berarti memboroskan potensi yang dikaruniakan
oleh Allah Swt. kepada kita, tapi juga satu langkah mendekatkan kita
pada perbuatan dosa atau paling tidak perbuatan yang berada di wilayah
abu-abu (gray area).