Bekerja untuk keluarga
Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan
adanya kewajiban bekerja (pada siang hari). Dan Kami telah membuat waktu
siang untuk mengusahakan suatu kehidupan (QS. An-Naba’: 11).
Kami
telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan
mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih (QS.
Al-A’raf: 10).
Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah (QS. Al-Jum’ah: 10).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk
kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi… (QS. 28: 77).
“Carilah kebutuhan hidup
dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu
berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit
untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan
bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia
meminta-minta kepada orang lain.. (HR. Bukhari dan Muslim).
“Dan
bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan
kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna”. (QS. An-Najm: 39-41).
Barang siapa yang tidur
semalam suntuk karena lelah setelah mencari rezeki yang halal, maka
semalam suntuk ia dalam keadaan mendapat ampunan (dari Allah atas dosa
dosanya).
(Riwayat Ibnu Asakir)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً
فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh
hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah
anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang
yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan
dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى
رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ
عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan
Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang
budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu
orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang
disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ
أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan
mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu
akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang
kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56).
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Harta yang
dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu.
Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai
sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun
bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu,
itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan).